Demokratisasi di Dunia Islam bisa dipastikan merupakan salah satu isu yang mengemuka pada tahun-tahun belakangan ini. Hal ini tidak terlepas dari agenda besar Barat, yang bahkan telah menjadikan demokratisasi di Dunia Islam sebagai strateginya untuk tetap menancapkan hegemoninya dan meraih sejumlah ’kepentingan’-nya di teritorial Dunia Islam.
Barat mengklaim bahwa demokrasi dan kebebasan merupakan garansi bagi terciptanya kebahagiaan, kedamaian, kemajuan, dan kemakmuran. Klaim tersebut akhir-akhir ini begitu sering disuarakan oleh para petinggi Amerika, khususnya George W. Bush. Dia pernah berkata di hadapan Lembaga Keuangan Nasional Amerika bagi Demokrasi; “Kebebasan sosial dan agama adalah dua hal yang sangat mendasar; termasuk bagi kebesaran dan keagungan bangsa Amerika…,” Ia juga mengatakan, “Bahkan, demokrasi adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan dan keberhasilan bangsa Amerika.”
Persoalan ini jelas menuntut sikap kritis kaum Muslim terutama para cendekianya, bukan malah mengamini kata-kata Bush barusan. Tulisan ini mencoba menguak kebobrokan demokrasi dari dua tahap yaitu; pertama, ilusi konsep / gagasan demokrasi, dan yang kedua, demokrasi dalam tataran politik aksi penjajahan yang selanjutnya disebut sebagai demokratisasi.
DEMOKRASI, SANG PENJAGA TERPERCAYA SEKULERISME BARAT
Gagasan inti demokrasi bisa disederhanakan dalam empat poin berikut;
1. Penolakan peran Tuhan dalam kehidupan manusia, ini menegaskan bahwa demokrasi bersumber dari akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara.
2. Dua pilar penting yaitu Kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Ide ini bermakna menjadikan manusia—bukan Allah—sebagai pihak yang berwenang membuat hukum.
3. Trias Politika, melemahkan kepemimpinan, sarat kepentingan golongan
4. Negara hanya pengawas. Peran pemelihara urusan dan tanggung jawab pengayoman pemeliharaan dilimpahkan kepada swasta
Bisa ditelaah, bahwa demokrasi telah begitu mensucikan manusia dan kehendaknya sendiri. Demokrasi telah menjadikan manusia sebagai pihak yang berkuasa menetapkan hukum sesuai dengan hawa nafsunya. Semua itu justru mengokohkan individualisme dan egoisme manusia. Akibatnya, manusia akan memandang dan mengurus dunia hanya dari sudut kepentingan dan kemaslahatannya saja, yang sering sangat materialistik seraya mengabaikan nilai-nilai spiritual, moral, kemanusiaan.
Bukti yang tak bisa ditolak bahwa, Barat yang demokratis pada umumnya mengalami kehancuran keluarga dan kemerosotan moral. Kehidupan individualis dan egois telah mendominasi mereka. Hal itu telah menghapus aspek kemanusiaan manusia sekaligus menurunkan derajat manusia pada derajat hewani yang hanya memandang kepuasan material saja dalam segala hal. Sesungguhnya jika kita mencermati perjalanan sejarah demokrasi Barat, akan tampak bahwa demokrasi justru bertentangan dengan klaim-klaim mereka di atas. Sejarah mencatat, bagaimana Eropa yang menganut demokrasi justru tenggelam dalam berbagai konflik berdarah. Perang Dunia I dan II yang merupakan akibat langsung dari demokrasi merupakan perang yang paling keji dibandingkan dengan berbagai peperangan yang pernah terjadi dalam lintasan sejarah.
Sebagian orang bertanya: bukankah demokrasi yang telah menjamin kemajuan dan kestabilan di Barat? Bukankah kemajuan dan stabilitas yang selama ini menjadi tujuan yang diupayakan untuk direalisasikan oleh umat manusia? Bukankah termasuk tindakan bodoh jika kita membiarkan masyarakat tetap terjatuh dalam kemunduran dan pertentangan, muncul di tengah-tengah mereka para penguasa yang merusak dan para mufti munafik, sementara semua itu dapat kita bersihkan melalui demokrasi?
Memang, Barat telah berhasil meraih kemajuan yang nyata dalam bidang politik dan ekonomi. Barat telah berhasil menyusun asas-asas yang melahirkan kestabilan secara umum dalam dua medan tersebut. Barat juga telah berhasil melampaui kaum Muslim dari segi materi. Akan tetapi, sangat rancu jika kita mengaitkan kebangkitan yang dialami Barat dengan terealisasinya demokrasi di tengah-tengah mereka. Lebih rancu lagi jika kita mengaitkan realita tragis yang menimpa kaum Muslim saat ini dengan Islam .
Akan tetapi meski begitu nyata ilusi dan kerusakan klaim demokrasi, tetap saja nilai-nilai demokrasi masih mendapat tempat yang istimewa di hati masyarakat dunia termasuk umat Islam. Ketika terjadi kekacauan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, mereka tidak pernah menyalahkan demokrasi secara konsepnya, yang justru digugat adalah implementasi /penerapannya yang menurut mereka belum ideal. Demikianlah, nilai-nilai demokrasi yang sarat dengan asumsi, kini telah diterima secara universal oleh dunia sejak awal abad ke-20, bahkan kian menjadi aksioma atau standar kebenaran yang tak perlu lagi diragukan kebenarannya.
DEMOKRATISASI, TOPENG YANG MENJAGA PROSES IMPERIALISME
Perlu diperhatikan bahwa diusungnya demokratisasi di negeri-negeri Islam sering tidak dalam bentuknya yang hakiki, yakni sebagai gagasan yang menyingkirkan hukum-hukum Allah dan membebaskan manusia untuk membuat hukum sendiri. Gagasan demokratisasi justru sering dipropagandakan sebagai pemerintahan rakyat, yang mengedepankan persamaan di antara sesama manusia, mengusung keadilan, mendorong sikap kritis terhadap penguasa, dll.
Perkembangan demokrasi terjadi dalam level teoritis maupun implementasinya. Demokrasi dalam makna yang murni yang diidealkan ala polis sudah tidak realistis lagi. Dunia kian datar. Orang menyebutnya sebagai gelombang demokratisasi ketiga, atau globalisasi versi 3.0. Memasuki dekade 1980-an dunia internasional menyaksikan gelombang demokratisasi baru yang dimulai dengan rontoknya sejumlah rezim otoritarian di kawasan Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan beberapa negara di Afrika.
Gelombang demokratisasi ini merupakan agenda perubahan politik paling menyolok akhir abad 20. Samuel Huntington, sebagai ilmuwan politik terkemuka akhir abad ini berpendapat dalam tulisannya di rubrik “gelombang demokratisasi ketiga” (1974-1990), Huntington berhasil merekam 62 kasus transisi sistem negara dari otoritarianisme menuju demokrasi secara global dari Portugal (1974) yang kemudian menyusur ke negara-negara lain di Eropa Selatan, Amerika Latin, Afrika, Asia Timur dan Eropa Timur. Sehingga Francis Fukuyama secara tegas menyebutnya sebagai "berakhirnya sejarah" (the end of history), yakni titik final dari evolusi ideologis umat manusia dan bentuk pamungkas pemerintahan manusia. Gelombang demokratisasi baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta .
Mantera Demokrasi dan mantera Globalisasi memang menjadi pasangan serasi di jaman modern ini. Dengan mantera ini, banyak hal diamini, ditoleransi dan dibenarkan. Tapi, di antara banyak hal itu, penindasan dan penghisapanlah yang utama. Karena sebenarnya secara esensial tidak ada yang berubah. Perubahan itu justru terjadi secara artifisial. Ya, itulah wajah demokrasi sekarang, sebagaimana sebuah pemikiran yang terus berkembang, operasionalnya terus berkreasi. Adaptif dengan kepentingan kapitalis global sekaligus kuratif terhadap ekses destruktif kapitalisme.
PERMAINAN BARU DEMOKRASI
Menguatnya paham neoliberal pada dekade 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Tata pemerintahan yang demokratis maupun konsep-konsep sejenis (seperti good governance, desentralisasi, deregulasi, debirokratisasi, reinventing government, mewirausahakan birokrasi, dan lain-lain) menjadi komoditas wacana publik yang sangat populer.
a) Konsep Civil Society
Salah satu perkembangan teori tentang demokrasi dalam ilmu politik kontemporer yakni masyarakat civil (civil society). Neera Chandoke pernah menulis dengan tegas dalam bukunya State and Civil Society: Explorations in Political Theory; bahwa negara yang demokratis adalah negara yang tidak hanya dibatasi oleh konstitusi dan institusi semisal parlemen, partai politik dan semisalnya, tetapi juga kehidupan asosiasional yang berlangsung dalam sebuah ruang yang melampaui cakupan negara yakni masyarakat sipil. Karena itu masyarakat sipil menjadi leitmotif bagi masyarakat yang berjuang mewujudkan demokrasi .
Lebih lanjut, konsep civil society mengupas tentang penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam upaya ”re-demokratisasi”, mengutip hipotesa Nooreena Hertz, ia mengatakan bahwa globalisasi ekonomi telah berakibat pada terjadinya the death of democracy. Kematian demokrasi ini disebabkan oleh karena semakin ditelantarkannya rakyat oleh para pemimpin yang dipilihnya, yang ternyata lebih sibuk melayani para kapitalis. Dengan dalih memuaskan konstituennya, para pemimpin negara malah menggadaikan kepentingan rakyat demi mengundang investasi ke dalam negeri .
Oleh karenanya muncullah ide tentang civil society ini, dalam pandangan mereka masyarakat sipil akan menjadi counter-balancing terhadap negara, yang berperan sebagai alat kontrol negara. Masyarakat sipil diperhadapkan dengan negara karena negara dianggap bukanlah institusi “baik hati” di mana aktor-aktornya dengan tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi, diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan mapan sebagai alat penekan dan kontrol terhadap seluruh kebijakan negara, kalau perlu opposite terhadap negara.
Pengembangan lebih jauh dari ide ini adalah kemunculan dan perkembangan NGO sebagai aktor utama masyarakat sipil (civil society organizations) yang merupakan bagian dari strategi neoliberal untuk, di satu sisi melemahkan posisi negara vis a vis masyarakat sipil, dan di sisi lain untuk mengendalikan masyarakat sipil sekaligus menciptakan ketergantungan mereka terhadap rejim global guna mendukung pelaksanaan agenda-agenda neoliberal di negara-negara berkembang.
b) Good Governance / Tata Pemerintahan Demokratis
Adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan GG. Perspektif yang berpusat pada government bergeser perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance. Awalnya governance dimaknai secara terbatas sebagai kinerja pemerintahan efektif, yang digunakan untuk membedakan pengalaman pemerintahan yang buruk sebelumnya.
Good governance (GG) kemudian diperkenalkan oleh sejumlah lembaga donor (terutama IMF dan Bank Dunia) untuk kepentingan strategis-praktis, yaitu sebagai kriteria standar pemberian bantuan pada negara-negara debitur, termasuk Indonesia. Selama satu dekade terakhir, GG kemudian diadopsi dan dipopulerkan oleh banyak individu dan lembaga. Kini GG sangat populer di Indonesia. Dari presiden sampai pejabat kabupaten, dari politisi, akademisi sampai aktivis LSM membicarakan GG dengan semangat. Seorang akademisi, Rohman Achwan (2000), bahkan sangat yakin bahwa GG adalah “manisfesto politik” di abad ke-21. Ada keyakinan bersama bahwa GG merupakan sebuah kerangka baru pembaharuan pemerintahan (governance reform) di Indonesia dan juga sebagai sebuah cita-cita ideal pemerintahan yang hendak dituju di masa depan.
Program turunan penting dari GG adalah desentralisasi di Indonesia lebih populer dengan istilah otonomi daerah. Politik desentralisasi merupakan suatu konsep pengalihan atau pemindahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan lokal. Menurut mereka, pelaksanaan politik desentralisasi akan melahirkan para pengelola negara yang efisien. Tentu saja mereka lebih jelas mengetahui kebutuhan masyakat lokal. Menurut Friedman, politik desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa ditanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggungjawab kepada unit-unit pengelola pemerintahan lokal.
Good governance pada dasarnya merupakan agenda neoliberalisme untuk melemahkan kontrol negara atas pengelolaan sumber agraria dan ekonomi (Fakih, 2002), sehingga kekuatan modal bisa memainkan peran melalui mekanisme hukum pasar dan persaingan bebas. Sedangkan program desentralisasi sejatinya adalah alat disintegrasi sekaligus jalan tol bagi para kapital untuk melemahkan peran negara untuk membuka pintu masuk bagi investasi modal asing, langsung tepat sasaran pada satuan wilayah terkecil di sebuah negara.
c) Peran NGO sebagai Agen Demokratisasi
Merebaknya jumlah NGO terjadi setelah tahun 1960-an, ketika itu muncul wacana baru dalam pembangunan internasional (baca: lahirnya neoliberalisme), pembangunan internasional menekankan peran penting NGO di negara-negara berkembang sebagai agen sosial untuk pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan proses demokratisasi . Oleh karenanya NGO sering disebut sebagai agen pembangunan atau agen demokratisasi.
Agen-agen donor memberikan bantuan dana kepada negara berkembang melalui NGO sebagai aktor utama masyarakat sipil (civil society organizations) dengan tujuan menguatkan proses demokratisasi dan pembangunan ekonomi. Kekuatan ini tampil dalam wujudnya yang manis melalui slogan-slogan populis, seperti: memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menyokong demokratisasi.
Menurut Edwards dan Hulme, ledakan NGO di tahun-tahun belakangan ini bukanlah kebetulan, dan juga bukan semata-mata sebagai respons inisiatif lokal/kegiatan sukarela, melainkan akibat semakin besarnya bantuan resmi asing untuk NGO (donor driven). Edwards mencatat , ”dari sejumlah 176 NGO internasional tahun 1909, telah berkembang hingga mencapai 28900 menjelang tahun 1993. Lebih dari 20.000 jaringan NGO transnasional telah aktif di panggung dunia, dan 90% di antaranya muncul pada kurun waktu tiga dekade terakhir.” Kategori NGO yang paling utama adalah NGO tidak berbasis keanggotaan dan berorientasi pembangunan (non-membership-based and developmental NGO)
Sampai pada titik ini gambarannya menjadi indah bagi kaum kapitalis internasional. Pada level global mereka membangun WTO, dengan tujuan menciptakan global governance, sementara pada level lokal mereka memanfaatkan dan mendukung gerakan NGO yang mendorong good governance, demokratisasi, penguatan civil society, dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, apa yang dilakukan NGO sadar maupun tidak; lebih merupakan upaya membangun infrastruktur untuk melempangkan jalan masuknya invenstasi modal perusahaan transnasional daripada menguatkan posisi rakyat vis a vis negara dan memperkuat negara vis a vis kapitalis internasional.
d) Peran Kampus sebagai Agen Baru Demokratisasi.
Simaklah cuplikan dari Laporan Desentralisasi 2006 ”Membedah Reformasi Desentralisasi di Indonesia yang disusun oleh USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) untuk Donor Working Group on Decentralization :
”Keterlibatan perguruan tinggi dalam masalah desentralisasi, sebelum era reformasi,sangat dihambat; dalam banyak kesempatan para peneliti bekerja semata-mata untuk lembaga pemerintah atau dalam konsep dikooptasi oleh ideologi dominan dan kepentingan negara. Setelah terbebas dari pengaruh pemerintah pada era reformasi, perguruan tinggi sedikit melambat dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru untuk mendukung pemerintah daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sendiri. Meskipun demikian, sejalan dengan perkembangan, beberapa perguruan tinggi mulai membuat pusat studi untuk mempelajari masalah desentralisasi, atau memperkuat masalah desentralisasi ini di fakultas atau pusat studi yang sudah ada.”
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar